Namun, suami-istri itu tidak mempunyai uang sepeser pun untuk keperluan membuat kue ketan.
"Benang sutera yang setiap hari kita buat selama ini, juallah ke pasar untuk keperluan tahun baru," kata si istri setelah merenung lama.
"Baiklah, aku akan berangkat untuk menjualnya," jawab suaminya.
Pagi hari itu, salju turun dengan lebatnya. Berangkatlah si suami ke kota membawa benang sutera.
Dia berjalan dengan susah payah melewati salju yang tebal sekal. Sesampainya di kota, suami itu mulai berkeliling menjajakan benang suteranya.
"Benang sutera.. benang sutera...siapa mau beli!" katanya menawarkan dagangannya.
Mengahadapi datangnya tahun baru, ramai sekali kota itu. Si suami terus mondar-mandir menawarkan dagangannya. Tetapi tak seorang pun membeli benang sutera itu.
"Berapapun harganya, benang ini harus aku jual. Paling tidak, aku harus membeli beras untuk tahun baru," katanya dalam hati.
Sampai sore, dengan sabar suami itu menjajakan dagangannya, tetapi tak seorang pun yang mau membelinya.
Ia sangat lapar karena dari pagi belum makan sesuap nasi pun. Tangan dan kakinya kedinginan dan hampir membeku seperti es. Jari-jemarinya seperti akan lepas dari telapak kaki dan tangannya. Pipi dan hidungnya terasa sakit sekali karena dingin yang sangat menggigit. Tenggorokannya pun hampir tidak dapat lagi mengeluarkan suara. Akhirnya dengan kaki terseok-seok pulanglah ia ke rumahnya.
Di tengah perjalanan pulang, ia mendengar suara penjual topi jerami. "Topi jerami...topi jerami...siapa yang mau beli..."
Ternyata penjual topi itu adalah seorang kakek. Kakek itu mendekati laki-laki yang menjual benang sutera itu dan bertanya, "Siapa namamu?"
"Tasuke," jawabnya dengan suara parau. Kemudian ia pun menceritakan pengalamannya menjual benang sutera.
"Tentu saja," kata kakek penjual topi. "Benang sutera bukanlah dagangan untuk tahun baru. Aku pun dari pagi sampai sore menjual topi ini, tapi tak satu pun yang laku. Kakiku hampir patah rasanya."
Salju terus turun dari langit tiada henti-hentinya. Namun toko-toko yang berderet di sisi jalan itu masih ramai. Ikan dan cumi-cumi kering laku terjual. Kakek dan Tasuke melihatnya dengan sedikit rasa cemburu.
"Ya betul, memang benang sutera dan topi tidak akan mengenyangkan perut," kata Tasuke setelah memperhatikan pedagang ikan di pinggir jalan.
Tasuke merasa geli memikirkan kejadian ini. Tanpa henti-hentinya Tasuke tertawa sendiri. Melihat Tasuke berbuat begitu kakek menegurnya.
"Hai, jangan tertawa begitu, sekarang bukan waktunya untuk tertawa," kata kakek.
Lalu si kakek usul kepada Tasuke. "Setelah kupikir-pikir, bagaimana kalau topiku ini ditukar dengan benang suteramu itu. Kalaupun benang itu kamu bawa pulang, tidak ada gunanya. Begitu juga kalau topi ini aku bawa pulang tidak ada gunanya," katanya.
Setelah berpikir sejenak, Tasuke setuju. Ditukarkannya benang sutera dengan enam topi dagangan kakek. Dan setelah itu keduanya berpisah untuk pulang ke kampung masing-masing.
Di tengah perjalanan pulang, sejauh mata memandang yang tampak hanyalah salju putih saja. Tidak ada tanda-tanda telapak kaki manusia melewati jalan itu. Hampir-hampir Tasuke salah jalan karena sulit membedakan jalan dengan sawah, semua tertutup salju.
Hujan salju terus turun semakin lebat, kadang-kadang menimpa pipinya. Tasuke sangat letih. Oleh karena itu, berhentilah ia melangkahkan kakinya yang terasa sangat berat itu. Lalu, ia menengok ke kanan dan ke kiri. Dilihatnya beberapa patung batu berderet di pinggir jalan. Patung batu itu semua tertutup salju putih.
"Salju lebat sekali, kalau tidak pakai topi alangkah dinginnya patung itu," pikir Tasuke.
Karena merasa kasihan, Tasuke membersihkan salju pada patung itu dengan tangannya. Lalu memberinya topi yang baru saja ditukarkan dengan benang suteranya. Karena jumlah patungnya tujuh, maka ada satu patung yang tidak mendapat topi. Tasuke melepaskan topi yang dipakainya sejak pagi, lalu dipakaikannya pada patung yang terakhir.
Tasuke mencoba menghangatkan tangannya dengan napas dari mulutnya. Kemudian, dimasukkannya telapak tangannya ke dalam bajunya supaya terasa lebih hangat.
Sambi membungkuk-bungkuk, Tasuke kembali melanjutkan perjalanan pulangnya. Salju tak henti-hentinya turun. Akhirnya, sampailah ia di rumahnya. Seluruh badannya diselimuti dan ia pun menggigil kedinginan.
Istri Tasuke sejak sore tadi telah menunggu suaminya di depan pintu rumah. Ia sangat khawatir akan keadaan suaminya. Tetapi ia yakin suaminya akan pulang dengan membawa beras.
Mendengar suara langkah kaki Tasuke, istrinya memandang ke depan. Dilihatnya suaminya tidak membawa apa-apa di tangannya. Bahkan memakai topi pun tidak. Badannya kelihatan sangat lemah. Istri Tasuke terkejut.
"Aduh, apa yang terjadi?" tanyanya sambil membersihkan salju yang menempel di badan Tasuke.
"Sampai sore aku mencoba menjajakan benang sutera kita, tetapi tidak ada yang membelinya. Lalu dalam perjalanan pulang aku berteu dengan seorang kakek yang menjual topi, maka aku tukarkan benang sutera itu dengan enam buah topi. Tetapi di tengah jalan, aku melihat tujuh patung batu kedinginan, maka aku pakaikan topi itu kepada mereka. Karena tidak cukup, maka topi yang aku pakai aku lepas dan berikan kepada patung terakhir." begitulah Tasuke menceritakan pengalamannya kepada istrinya.
Mendengar demikian, istri Tasuke sama sekali tidak marah. Malahan, dengan bersikap sangat lemah lembut ia menghibur suaminya.
"Kalaupun kamu bawa topi itu pulang, tidak ada gunanya pada tahun baru. Paling tidak topi itu bisa dipakai oleh patung batu. Perbuatanmu itu sangat baik," kata istrinya.
"Besok adalah tahun baru tanpa persediaan apa pun di rumah, walau sepotong kue ketan pun. Marilah kita tidur saja," dan diajaknya Tasuke segera tidur.
Di luar terdengar badai salju terus-menerus turun disertai angin yang sangat kencang bagaikan hantu yang menari-nari berpakaian kimono putih.
Tengah malam keduanya terbangun. Mereka mendengar bunyi aneh di luar rumah seperti ada orang memikul barang.
"Krek...krek...krek..." bunyi itu semakin mendekati rumahnya.
"Pada waktu seperti ini tidak mungkin ada orang yang keluar rumah," kata Tasuke kepada istrinya.
Keduanya lalu bangkit dari tempat tidurnya. Dari luar rumah terdengar suara, " Tasuke, terima kasih," lalu terdengar sesuatu diletakkan di depan pintu masuk.
Kedua suami-istri itu dengan takut-takut mencoba mengintip ke luar rumah. Ternyata di depan pintu ada tujuh karung besar. Di kejauhan terlihat patung-patung batu yang memakai topi jerami beriring-iringan meninggalkan rumah Tasuke. Cepat-cepat suami-istri itu membuka karung-karung itu karena ingin tau isinya. Ternyata karung itu berisi beras ketan, sayur-sayuran, buah jeruk, kain, arang, dan barang-barang lain keperluan tahun baru. Di dalam salah satu karung itu malahan ada emasnya pula.
Kedua suami-istri itu sangat gembira dan segera pergi ke dapur untuk membuat kue ketan, yaitu moci.